Rabu, 01 April 2015

Langkah Hukum Jika Barang Tidak Terkirim ke Tempat Tujuan

Pertanyaan:

Tanggal 20 Januari saya mengirimkan paket barang dari luar negeri (Korea) untuk anak saya di Cirebon, Babakan, Jawa Barat, Indonesia. Tetapi paket tersebut tidak sampai ke Cirebon melainkan tiba ke Pekanbaru, Riau. Sampai saat ini tidak ada kejelasan kapan tibanya paket saya tersebut. Apakah saya bisa mengajukan gugatan hukum terhadap PT Pos Indonesia? Soalnya saya sebagai konsumen merasa dirugikan sekali. Mohon jawabannya dan terima kasih atas perhatiannya.

Naral80
 

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt50f8bc5fd2478/lt50fcf1caabcfc.jpg

Intisari:
Anda sebagai pemilik barang mempunyai hak untuk menggugat ganti rugi PT. Pos Indonesia (secara perdata) atas tidak atau belum dikirimkannya paket barang, dengan terlebih dahulu memperingatkan PT Pos Indonesia secara hukum melalui peringatan secara tertulis (somasi).
Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda. Saya turut prihatin dengan permasalahan yang Anda hadapi, semoga permasalahan tersebut segera dapat diselesaikan dengan baik.
Secara hukum, pengiriman barang oleh perusahaan ekspedisi (ekspeditur) atas permintaan dari si pengirim barang untuk mengirimkan suatu barang tertentu agar disampaikan kepada si penerima barang dapat dikualifikasikan sebagai Suatu Perjanjian Pengangkutan. Aturan dan dasar hukum dari Perjanjian Pengangkutan ini dapat Anda temukan di Pasal 1601 a, Pasal 1601 b dan Pasal 1617 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan Pasal 86-97 dan Pasal 466-517c Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUH Dagang”).
Sebagai gambaran untuk Anda, HMN Purwosutjipto, S.H. dalam bukunya Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia telah mendefinisikan Perjanjian Pengangkutan sebagai suatu perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari satu tempat ke tempat tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.
Menjawab pertanyaan Anda, dalam hal PT. Pos Indonesia tidak atau belum melaksanakan kewajibannya untuk menyampaikan paket barang tersebut kepada anak Anda sesuai waktu yang diperjanjikan (misalnya tiga hari, dst), dan mengingat bahwa pengiriman barang tersebut adalah suatu Perjanjian Pengangkutan, maka tindakan dari PT. Pos Indonesia yang tidak menyampaikan paket barang tersebut sesuai waktu yang diperjanjikan dalam Bukti Tanda Terima Pengiriman Barang, dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan ingkar/cidera janji atau yang dikenal dengan istilah wanprestasi.
Adapun pengertian wanprestasi menurut para sarjana yang dikutip oleh J. Satrio dalam bukunya Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin dan Yurisprudensi, terbitan PT Citra Aditya Bakti (2012), halaman 3, adalah sebagai berikut:
“Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, dimana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya.”
Sebagai referensi tambahan untuk Anda, saya akan mengutip pendapat Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian, penerbit PT Intermasa, halaman 45, yang berpendapat bahwa wanprestasi (kelalaian/kealpaan) seorang debitur dapat berupa:
a.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b.    Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c.    Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d.    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Berdasarkan hal-hal yang saya uraikan di atas, dalam hal tidak adanya keadaan memaksa/keadaan kahar (force majeur) yang menyebabkan PT. Pos Indonesia tidak dapat melaksanakan kewajibannya (Vide: Pasal 1244-1245 KUH Perdata), maka Anda sebagai pemilik barang mempunyai hak untuk menggugat ganti rugi PT. Pos Indonesia (secara perdata) atas tidak atau belum dikirimkannya paket barang, dengan terlebih dahulu memperingatkan PT Pos Indonesia secara hukum melalui peringatan secara tertulis (somasi) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata (terjemahan R. Subekti), yang berbunyi:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Berkaitan dengan pertanyaan Anda yang memposisikan diri sebagai konsumen, maka sejauh yang kami ketahui, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya memberikan pengaturan yang umum mengenai tidak menepati janji atas suatu pelayanan (misalnya dalam Pasal 16 UU Perlindungan Konsumen). Untuk itu, kita perlu kembali ke aturan Pengangkutan, khususnya dalam Pasal 468 dan Pasal 477 KUH Dagang, yang memberikan pengaturan sebagai berikut:
Pasal 468 KUH Dagang:
Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya.
Pengangkut harus mengganti kerugian karena tidak menyerahkan seluruh atau sebagian barangnya atau karena ada kerusakan, kecuali bila Ia membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang itu seluruhnya atau sebagian atau kerusakannya itu adalah akibat suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu cacat barangnya sendiri atau akibat kesalahan pengirim.
Ia bertanggung jawab atas tindakan orang yang dipekerjakannya, dan terhadap benda yang digunakannya dalam pengangkutan itu.
Pasal 477 KUH Dagang:
Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh penyerahan barang yang terlambat, kecuali bila ia membuktikan, bahwa keterlambatan itu adalah akibat suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya.
Namun demikian, karena aspek hukum Perjanjian Pengangkutan ini juga berkaitan dengan aspek-aspek hukum lainnya, misalnya seperti hukum asuransi yang merupakan assesoir (perjanjian tambahan) dari Perjanjian Pengangkutan tersebut dan Hukum Acara Perdata sebagai cara/upaya hukum untuk mengembalikan hak-hak anda, maka sangat disayangkan pembahasan mengenai hal tersebut tidak dapat dibahas seluruhnya dalam artikel yang terbatas ini.
Demikian penjelasan saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.
Dasar hukum:

SUMBER ; HUKUM ONLINE

0 komentar:

Posting Komentar