Kamis, 15 Januari 2015
Pertanyaan:
Ada perkara pertanahan dimana perkara ini telah diputus oleh hakim.
Hakim memenangkan pihak penggugat yang menyatakan tanah tersebut sah
milik penggugat. Namun sebelum perkara ini masuk pengadilan, tergugat
telah menjaminkan tanah tersebut ke bank. Apakah tanah yang dijaminkan
ke bank bisa dieksekusi pengadilan karena perkara lain? Bagaimana juga
kedudukan tanah penggugat bila tergugat lalai melunasi hutangnya ke bank
dan tanah tersebut dieksekusi karena perintah bank? terima kasih
yuliver26
Jawaban:
Intisari
Berdasarkan
pendapat pakar hukum dan putusan Mahkamah Agung, atas tanah yang
sudah dijadikan jaminan tidak dapat diletakkan sita jaminan maupun sita
eksekusi. Dengan demikian, kreditor pemegang jaminan memiliki hak
didahulukan atas tanah tersebut.
Tapi
dalam putusan Mahkamah Agung lain, pihak yang benar-benar merasa
berhak dan memiliki bukti kuat dapat dimenangkan dan di saat bersamaan
hak tanggungan yang dipegang kreditor menjadi gugur demi hukum.
Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini.
|
Ulasan
Berdasarkan
penjelasan Anda, kami mengambil kesimpulan bahwa tanah yang menjadi
objek sengketa tersebut pada awalnya adalah atas nama Tergugat (dalam
sertifikat), kemudian setelah proses peradilan dan ada putusan Hakim,
yang berhak atas tanah tersebut adalah Penggugat.
Pada
dasarnya yang dapat membebankan suatu tanah dengan hak tanggungan
adalah pemilik tanah itu sendiri. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”):
(1) Pemberi
Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
(2) Kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan
pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Jika
si Tergugat adalah pemilik tanah tersebut berdasarkan sertifikat tanah
yang ada pada waktu itu, maka Tergugat memang berhak untuk membebankan
tanah tersebut dengan hak tanggungan.
Jika
kemudian tanah tersebut disengketakan dan Tergugat dinyatakan bukan
sebagai orang yang berhak (pemilik) atas tanah tersebut, maka itu
merupakan permasalahan lain. Mengenai apakah atas tanah tersebut dapat
dieksekusi oleh pengadilan, pada dasarnya dalam UU Hak Tanggungan itu
sendiri tidak diatur. UU Hak Tanggungan hanya mengatur bahwa hak
tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek
tersebut berada (Pasal 7 UU Hak Tanggungan). Ini merupakan sifat dari hak kebendaan yaitu droit de suite. Mengenai droit de suite, Anda dapat membaca artikel Arti Droit De Suite.
Akan tetapi, Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. dalam bukunya
Hak Tanggungan: Asas-asas Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang
Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak
Tanggungan) (hal. 40-41), memberikan pendapat bahwa seharusnya
menurut hukum terhadap hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita (sita
jaminan maupun sita eksekusi). Alasannya adalah karena tujuan dari
(diperkenalkannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya hak tanggungan
itu sendiri. Tujuan dari hak tanggungan adalah untuk memberikan jaminan
yang kuat bagi kreditor yang menjadi pemegang hak tanggungan itu untuk
didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila terhadap hak tanggungan
itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan
bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari kreditor pemegang hak
tanggungan.
Lebih lanjut, Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. (Ibid, hal.
42) memberikan contoh dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 394K/Pdt/1984 tanggal 31 Mei 1985, yang berpendirian bahwa
barang-barang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara)
tersebut adalah jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik
sehingga tidak dapat dikenakan sita jaminan.
Akan tetapi, ini kembali lagi kepada pertimbangan hakim. Sebagai contoh, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2301 K/Pdt/2007,
Penggugat dan Tergugat I awalnya adalah pasangan suami istri, yang pada
saat perkawinan masih berlangsung, keduanya membeli sebuah tanah. Pada
saat perceraian, keduanya belum membagi harta bersama di antara mereka.
Tergugat I kemudian mengganti buku dan mengukur ulang tanah tersebut
karena buku yang lama telah penuh, yang mana nama pemiliknya tetap
Tergugat I. Tergugat I kemudian menjual tanah tersebut kepada Tergugat
II. Tergugat II kemudian menjaminkan tanah tersebut kepada bank. Dalam
perkara ini, hakim memutuskan salah satunya menyatakan bahwa sertifikat
hak tanggungan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Oleh karena itu, jika Penggugat benar-benar merasa berhak atas tanah tersebut sebaiknya Penggugat juga meminta pembatalan hak tanggungan yang berada di atas tanah tersebut kepada pengadilan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Sutan
Remy Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan: Asas-asas Ketentuan-ketentuan
Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai
Undang-Undang Hak Tanggungan). Bandung: Alumni.
Putusan:
sumber dari: Bung Pokrol
0 komentar:
Posting Komentar