Selasa, 10 Juni 2014
Pertanyaan:
A mempunyai sebuah rumah yang keberadaannya terhalang oleh sebuah rumah
B. Tidak ada akses jalan menuju rumah A, maka B memberikan sebagian
ruas tanahnya kepada A untuk dijadikan jalan akses menuju rumah A.
Kemudian B ini menjual rumahnya kepada C. Apakah persetujuan A dan B
untuk ruas tanah yang dijadikan jalan ini, masih berlaku untuk C sebagai
pembeli dan pemilik baru rumah B ini? Apa dasar hukumnya? Terima kasih.
iip kamaludin
Jawaban:
Kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan Anda kepada kami.
Berdasarkan
uraian Anda, kami memiliki pemahaman bahwa A memiliki rumah yang
letaknya di dalam dan terhalang oleh rumah milik B yang terletak di
pinggir jalan. Untuk bisa keluar, A menggunakan akses jalan melalui
tanah milik B tersebut.
Kami
tidak mengetahui secara detail yang dimaksud B memberikan sebagian
tanahnya kepada A untuk dijadikan jalan ke rumah ini berupa apa? Apakah
pemberian tersebut berupa persetujuan B secara lisan kepada A atau
dituangkan dalam sebuah akta di bawah tangan atau akta otentik yang menyatakan peralihan hak atas tanah tersebut.
Namun, berdasarkan kalimat selanjutnya dalam pertanyaan anda, yaitu “apakah persetujuan A dan B untuk ruas tanah yang dijadikan jalan ...”,
kami mengasumsikan bahwa yang dimaksud dengan memberikan ini adalah
berupa persetujuan secara lisan dari B kepada A untuk menggunakan
tanahnya sebagai jalan.
Dalam hukum pertanahan di Indonesia, ada suatu hak yang biasa disebut pengabdian pekarangan (hak servituut) terkait dengan permasalahan tersebut di atas. Mengenai hak servituut ini diatur di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”) mulai Pasal 674 sampai Pasal 710 BW.
Menurut Pasal 674 BW, pengabdian pekarangan adalah suatu beban yang diletakkan atas sebidang pekarangan seseorang untuk digunakan dan demi manfaat pekarangan milik orang lain. Baik mengenai bebannya maupun mengenai manfaatnya, pengabdian itu boleh dihubungkan dengan pribadi seseorang.
Setiap pengabdian pekarangan terdiri dari kewajiban untuk membiarkan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 675 BW).
Sementara itu dalam Pasal 686 BW disebutkan berbagai macam hak servituut,
termasuk diantaranya hak untuk melintasi pekarangan dengan jalan kaki
atau melintasi pekarangan dengan kendaraan. Berikut kutipan pasalnya:
“Hak pengabdian pekarangan mengenai jalan untuk kaki adalah hak untuk melintasi pekarangan orang lain dengan jalan kaki.
Hak mengenai jalan kuda atau jalan ternak adalah hak untuk naik kuda atau menggiring ternak melalui jalan itu.
Hak
mengenai jalan kendaraan adalah hak untuk melintas dengan kendaraan.
Bila lebar jalan untuk jalan kaki, jalan ternak atau jalan kendaraan
tidak ditentukan berdasarkan hak pengabdian, maka lebarnya ditentukan
sesuai dengan peraturan khusus atau kebiasaan setempat.
Hak
pengabdian pekarangan mengenai jalan kuda atau jalan ternak mencakup
juga hak pengabdian atas jalan untuk jalan kaki; hak pengabdian mengenai
jalan kendaraan, mencakup juga hak pengabdian mengenai jalan kuda atau
jalan ternak dan jalan untuk jalan kaki.”
Sebagaimana diketahui, dengan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”), maka Buku kedua BW dinyatakan tidak berlaku kecuali pasal-pasal yang dinyatakan sebaliknya.
Namun demikian, hak servituut ini dalam prakteknya masih sering digunakan oleh sebagian besar hakim, hal ini tercermin dalam putusan Pengadilan Negeri Bitung No. 89/Pdt.G/2011/PN.Bitung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyatakan:
“... semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial atau semacam hak servituut dalam BW,...”
“Menimbang,
bahwa dalam kaitannya Tanah berfungsi Sosial, menurut Jayadi Setiabudi
dalam bukunya “Tata Cara Mengurus Tanah Rumah Serta Segala Perizinannya”
Penerbit PT. Suka Buku, hal. 26, berpendapat Jika tanah Hak Guna
Bangunan karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab – sebab
lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan
atau bidang tanah lain dari lintas umum atau jalan air, pemegang Hak
Guna Bangunan wajib memberikan jalan air, pemegang Hak Guna Usaha
Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan
lain pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu.”
Begitu juga dengan Putusan Mahkamah Agung No 38 K/PDT/2008
yang mana Majelis Hakim Agung dalam amar putusannya menyatakan
perbuatan Tergugat I membangun tembok permanen dan bangunan lain yang
tidak permanen yang menutup gang/jalan masuk ke pekarangan milik
Penggugat sebagai Perbuatan Melawan Hukum.
Selain itu, dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Agung menyatakan:
“Bahwa
lagipula, sebagai fasilitas umum (jalan keluar masuk) bagi Penggugat
yang sudah lama berlangsung, harus tunduk kepada ketentuan Pasal 674
KUHPerdata tentang hak servitut, di mana pekarangan milik yang satu
dapat digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang yang
lain.”
“Menimbang,
bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan Tergugat I
membuat pagar tembok permanen yang menutup Gang/Jalan masuk ke tanah
pekarangan milik Penggugat (HGB No. 239) adalah merupakan perbuatan
melawan hukum, ...”
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dikaitkan dengan pertanyaan Saudara, dengan
demikian A tetap mempunyai hak untuk melintasi pekarangan milik C
tersebut, meskipun B telah menjual tanahnya kepada C. Bukan karena
adanya persetujuan antara A dan B, melainkan karena A mempunyai hak servituut terhadap tanah yang sekarang menjadi milik C.
Hal
ini sejalan dengan karakteristik hak kebendaan yaitu hak kebendaan
melekat pada bendanya (dalam hal ini tanah), meskipun pemiliknya telah
berubah.
Demikian jawaban kami semoga dapat membantu. Terima kasih.
Dasar Hukum:
sumber dari: S&H Attorneys at Law
0 komentar:
Posting Komentar