Rabu, 01 April 2015

Keberlangsungan Hak Servituut Jika Tanah Telah Dijual kepada Orang Lain

Selasa, 10 Juni 2014

Pertanyaan:
 
A mempunyai sebuah rumah yang keberadaannya terhalang oleh sebuah rumah B. Tidak ada akses jalan menuju rumah A, maka B memberikan sebagian ruas tanahnya kepada A untuk dijadikan jalan akses menuju rumah A. Kemudian B ini menjual rumahnya kepada C. Apakah persetujuan A dan B untuk ruas tanah yang dijadikan jalan ini, masih berlaku untuk C sebagai pembeli dan pemilik baru rumah B ini? Apa dasar hukumnya? Terima kasih.
iip kamaludin
  
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4c0e322d325fe/lt501a4ab130ea1.jpg
Kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan Anda kepada kami.
 
Berdasarkan uraian Anda, kami memiliki pemahaman bahwa A memiliki rumah yang letaknya di dalam dan terhalang oleh rumah milik B yang terletak di pinggir jalan. Untuk bisa keluar, A menggunakan akses jalan melalui tanah milik B tersebut.
 
Kami tidak mengetahui secara detail yang dimaksud B memberikan sebagian tanahnya kepada A untuk dijadikan jalan ke rumah ini berupa apa? Apakah pemberian tersebut berupa persetujuan B secara lisan kepada A atau dituangkan dalam sebuah akta di bawah tangan atau akta otentik yang menyatakan peralihan hak atas tanah tersebut.
 
Namun, berdasarkan kalimat selanjutnya dalam pertanyaan anda, yaitu “apakah persetujuan A dan B untuk ruas tanah yang dijadikan jalan ...”, kami mengasumsikan bahwa yang dimaksud dengan memberikan ini adalah berupa persetujuan secara lisan dari B kepada A untuk menggunakan tanahnya sebagai jalan.
 
Dalam hukum pertanahan di Indonesia, ada suatu hak yang biasa disebut pengabdian pekarangan (hak servituut) terkait dengan permasalahan tersebut di atas. Mengenai hak servituut ini diatur di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”) mulai Pasal 674 sampai Pasal 710 BW.
 
Menurut Pasal 674 BW, pengabdian pekarangan adalah suatu beban yang diletakkan atas sebidang pekarangan seseorang untuk digunakan dan demi manfaat pekarangan milik orang lain. Baik mengenai bebannya maupun mengenai manfaatnya, pengabdian itu boleh dihubungkan dengan pribadi seseorang.
 
Setiap pengabdian pekarangan terdiri dari kewajiban untuk membiarkan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 675 BW).
 
Sementara itu dalam Pasal 686 BW disebutkan berbagai macam hak servituut, termasuk diantaranya hak untuk melintasi pekarangan dengan jalan kaki atau melintasi pekarangan dengan kendaraan. Berikut kutipan pasalnya:
 
“Hak pengabdian pekarangan mengenai jalan untuk kaki adalah hak untuk melintasi pekarangan orang lain dengan jalan kaki.
Hak mengenai jalan kuda atau jalan ternak adalah hak untuk naik kuda atau menggiring ternak melalui jalan itu.
Hak mengenai jalan kendaraan adalah hak untuk melintas dengan kendaraan. Bila lebar jalan untuk jalan kaki, jalan ternak atau jalan kendaraan tidak ditentukan berdasarkan hak pengabdian, maka lebarnya ditentukan sesuai dengan peraturan khusus atau kebiasaan setempat.
Hak pengabdian pekarangan mengenai jalan kuda atau jalan ternak mencakup juga hak pengabdian atas jalan untuk jalan kaki; hak pengabdian mengenai jalan kendaraan, mencakup juga hak pengabdian mengenai jalan kuda atau jalan ternak dan jalan untuk jalan kaki.”
 
Sebagaimana diketahui, dengan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”), maka Buku kedua BW dinyatakan tidak berlaku kecuali pasal-pasal yang dinyatakan sebaliknya.
 
Namun demikian, hak servituut ini dalam prakteknya masih sering digunakan oleh sebagian besar hakim, hal ini tercermin dalam putusan Pengadilan Negeri Bitung No. 89/Pdt.G/2011/PN.Bitung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyatakan:
 
“... semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial atau semacam hak servituut dalam BW,...”
 
“Menimbang, bahwa dalam kaitannya Tanah berfungsi Sosial, menurut Jayadi Setiabudi dalam bukunya “Tata Cara Mengurus Tanah Rumah Serta Segala Perizinannya” Penerbit PT. Suka Buku, hal. 26, berpendapat Jika tanah Hak Guna Bangunan karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab – sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan air, pemegang Hak Guna Usaha Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu.
 
Begitu juga dengan Putusan Mahkamah Agung No 38 K/PDT/2008 yang mana Majelis Hakim Agung dalam amar putusannya menyatakan perbuatan Tergugat I membangun tembok permanen dan bangunan lain yang tidak permanen yang menutup gang/jalan masuk ke pekarangan milik Penggugat sebagai Perbuatan Melawan Hukum.
 
Selain itu, dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Agung menyatakan:
 
“Bahwa lagipula, sebagai fasilitas umum (jalan keluar masuk) bagi Penggugat yang sudah lama berlangsung, harus tunduk kepada ketentuan Pasal 674 KUHPerdata tentang hak servitut, di mana pekarangan milik yang satu dapat digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang yang lain.”
 
“Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan Tergugat I membuat pagar tembok permanen yang menutup Gang/Jalan masuk ke tanah pekarangan milik Penggugat (HGB No. 239) adalah merupakan perbuatan melawan hukum, ...”
 
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dikaitkan dengan pertanyaan Saudara, dengan demikian A tetap mempunyai hak untuk melintasi pekarangan milik C tersebut, meskipun B telah menjual tanahnya kepada C. Bukan karena adanya persetujuan antara A dan B, melainkan karena A mempunyai hak servituut terhadap tanah yang sekarang menjadi milik C.   
 
Hal ini sejalan dengan karakteristik hak kebendaan yaitu hak kebendaan melekat pada bendanya (dalam hal ini tanah), meskipun pemiliknya telah berubah.
 
Demikian jawaban kami semoga dapat membantu. Terima kasih.
 
Dasar Hukum:
 sumber dari: S&H Attorneys at Law

 

0 komentar:

Posting Komentar