Selasa, 03 Juni 2014
Pertanyaan:
Jawaban:
Salam.
Secara umum dan awam, orang menyebut “tanah adat” ada 2 pengertian:
1. Tanah
“Bekas Hak Milik Adat” yang menurut istilah populernya adalah Tanah
Girik, berasal dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum
dikonversi menjadi salah satu tanah dengan hak tertentu (Hak Milik, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai atau Hak Guna Usaha) dan belum didaftarkan atau
disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam-macam: girik, petok, rincik, ketitir dan lain sebagainya; atau
2. Tanah
milik masyarakat ulayat hukum adat, yang bentuknya seperti: tanah
titian, tanah pengairan, tanah kas desa, tanah bengkok dll (sebagai
referensi silakan baca Pengolaan dan Pemanfaatan Tanah Bengkok).
Untuk jenis tanah milik masyarakat hukum adat ini tidak bisa
disertifikatkan begitu saja. Kalau pun ada, tanah milik masyarakat hukum
adat dapat dilepaskan dengan cara tukar guling (ruislag) atau melalui pelepasan hak atas tanah tersebut terlebih dahulu oleh kepala adat.
Untuk
tanah bekas hak milik adat yang berbentuk Girik (poin 1) di atas, jika
pihak yang hendak melakukan proses penyertifikatannya merupakan pemilik
asli yang tercantum dalam tanah adat tersebut, maka tidak diperlukan
adanya jual beli terlebih dahulu.
Jika
sudah terjadi pewarisan misalnya, maka harus didahului dengan pembuatan
keterangan waris dan prosedur waris seperti biasa (silakan baca Pemilikan Tanah Secara Warisan dan Pemilikan Tanah Secara Warisan (2)).
Sedangkan
jika perolehan haknya dilakukan melalui mekanisme jual beli, maka harus
di ikuti lebih dahulu proses jual belinya sebagaimana diuraikan dalam
artikel saya JUAL BELI & BALIK NAMA SERTIFIKAT.
Penyertifikatan
tanah adat dalam istilah hukum pertanahan dikenal dengan pendaftaran
tanah untuk pertama kali, yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang
dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar. Kegiatan
ini ada dua jenis, pertama, pendaftaran tanah secara sistematis, yang
diprakarsai oleh pemerintah. Yang
kedua, pendaftaran tanah secara sporadis yang dilakukan mandiri/atas
prakarsa pemilik tanah. Kedua kegiatan ini tidak perlu didahului dengan
proses jual beli. Lebih lanjut bisa dibaca juga dalam artikel saya Pensertifikatan Tanah Secara Sporadik.
Kembali
ke pertanyaan Anda, yang akan dilakukan adalah jenis yang kedua, yaitu
secara sporadis, Anda dapat meminta bantuan PPAT yang wilayah kerjanya
sesuai dengan letak objek tanah yang akan didaftarkan.
Dokumen-dokumen yang harus dilengkapi adalah:
1. Surat Rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang akan didaftarkan.
2. Membuat surat tidak sengketa dari RT/RW/Lurah.
3. Surat Permohonan dari pemilik tanah untuk melakukan penyertifikatan (surat ini bisa diperoleh di Kantor Pertanahan setempat).
4. Surat kuasa (apabila pengurusan dikuasakan kepada orang lain, misalnya PPAT).
5. Identitas
pemilik tanah (pemohon) yang dilegalisasi oleh pejabat umum yang
berwenang (biasanya Notaris) dan/atau kuasanya, berupa fotokopi KTP dan
Kartu Keluarga, surat keterangan waris dan akta kelahiran (jika
permohonan penyertifikatan dilakukan oleh ahli waris).
6. Bukti atas hak yang dimohonkan: girik/petok/rincik/ketitir atau bukti lain sebagai bukti kepemilikan.
7. Surat pernyataan telah memasang tanda batas.
8. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Tanda Terima Sementara (STTS) tahun berjalan.
Setelah
semua dilengkapi dan didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat, maka
rangkaian kegiatan pendaftaran tanah pun dimulai. Pihak Kantor
Pertanahan akan meninjau lokasi dan mengukur tanah, menerbitkan gambar
situasi/surat ukur, memproses pertimbangan Panitia A, pengumuman,
pengesahan pengumuman, pemohon membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) sesuai dengan luas yang tercantum dalam gambar
situasi/uang pemasukan, dan yang terakhir, penerbitan sertifikat tanah.
Biasanya proses ini memakan waktu tiga bulan, tetapi bisa juga lebih,
tergantung kondisi di lapangan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Purnamasari,
Irma Devita. Panduan Hukum Praktis Populer, Kiat Cerdas, Mudah dan
Bijak dalam Memahami Hukum Pertanahan (Kaifa, 2010).
sumber dari: Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.
0 komentar:
Posting Komentar