Foto : Indonesia Solidarity di Syney Bagian Barat |
Sydney (Australia), SUARA KAIDO, Pada tanggal 7 Juni 2015,Indonesian Solidarity, lembaga hak asasi manusia di Sydney bersama komunitas masyarakat Aceh menyelenggarakan acara BBQ di Wiley Park (Sydney bagian barat) sebagai bukti untuk memberikan solidaritas dukungan terhadap para pengungsi di Indonesia, khususnya Rohingya yang ada di Aceh. Disamping dihadiri oleh sekitar 30 masyarakat Aceh, hadir juga aktivis dari Refugee Action Coalition, Ian Rintoul. Mereka yang selama ini sangat keras mengkritiki kebijaksanaan pemerintah Australia yang melanggar hak asasi dalam memperlakukan terhadap para pengungsi.
Australia
merupakan salah satu Negara yang telah menanda tangani Refugee Convention, akan
tetapi banyak pelanggaran-pelanggaran yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh
pemerintah Australia, khususnya masa pemerintahan Perdana Mentri Tony Abbot
dari Partai Liberal sekarang ini. Menurut Ian, beberapa masyarakat akan
berkumpul untuk mengajukan program penyelesaian pengungsi yang lebih manusia
yang nanti akan di ajukan dalam konggres partai Buruh. Ian menambahkan walaupun
dia sendiri tidak setuju juga dengan kebijaksaan partai buruh, akan tetapi
didalam pemerintahan partai buruh masih ada keterbukaan yang bisa dimiliki oleh
para pengungsi.
Ian juga
menambahkan jika pada bulan Oktober 2015 akan ada aksi besar-besaran di Sydney
untuk menentang kebijaksaan pemerintahan Tony Abbot soal pengungsi. Dalam acara
BBQ ini, Ian juga mengkritiki sikap Negara-negara yang tidak menerima para
pengungsi perahu, khususnya sikap pemerintah Australia yang baru-baru ini
mengusir perahu pengungsi yang diisi 65 orang pengungsi berkewarga negaraan Sri
Langka, Myanmar dan Banglades, dimana salah satunya adalah seorang perempuan
hamil. Perahu pengungsi tersebut telah memasuki perairan Australia dan didorong
balik oleh pihak keamanan Australia untuk kembali lagi ke Indonesia.
Walaupun
Indonesia bukan Negara yang menanda tangani Refugee Convention, dengan adanya
perwakilan UNHCR untuk memproses para pencari suaka politik sehingga ditetapkan
sebagai pengungsi, tentu dalam hal ini kami sangat mengapresiasi sikap
pemerintah Indonesia. Akan tetapi kami memberikan tanggapan beberapa hal
dibawah ini:
1. Para pengungsi Ronghiya dan pengungsi
lainnya yang ada di Indonesia agar tidak diberi batas waktu, dimana pemerintah
mentargetkan untuk menampung pengungsi Ronghiya tinggal di Aceh/ Indonesia
selama 1 tahun, sampai adanya resettlement dari Negara lain yang menanda
tangani Refugee Convention seperti Amerika Serikat, beberapa Negara Eropa,
Australia dan New Zeland.
2. Para pengungsi Banglades yang
bersamaan dalam satu perahu dengan pengungsi Rohingya telah dituduh oleh pemerintah
sebagai economic migrant. Untuk itu kami meminta kepada pemerintah Indonesia
agar seseorang bisa dikatakan sebagai pengungsi atau tidak, untuk menyerahkan
prosesnya ke UNHCR di Jakarta untuk melakukan penilaian.
3. Walaupun para pengungsi di Indonesia
mendapatkan tunjangan social, baik orang dewasa maupun anak-anak, dari
International Organisation on Migration (IOM) yang jumlahnya agak minim,
semestinya mereka diberikan hak untuk mencari nafkah (bekerja).
4. Berapa pengungsi di Indonesia ditaruh
di detention centre, baik anak-anak, ibu-ibu maupun orang tua. Menurut laporan
Amnesty Internasional bahwa dentention centre di Indonesia telah mengakibatkan
penyiksaan (pelanggaran ham) maupun praktek-praktek korupsi. Untuk itu sudah
saatnya pemerintah Indonesia tidak hanya mengevaluasi keberadaan detention
centre tersebut, akan tetapi untuk dihapuskan.
Dari segala bentuk kekerasan yang terjadi atau dialami oleh Rohingya perluh mendapatkan perlindungan dari Negara. sebab yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah kedamaian dalam kehidupan anatara sesama manusia. (Marthen Yeimo/ SK)
0 komentar:
Posting Komentar