Orang tua angkat semestinya sudah memahami aturan dan tata cara
mekanisme pengangkatan anak berdasarkan ketentuan peraturan perundangan
yang belaku sebelum mengadopsi.
Ilustrasi: Basuki Rahmat |
Peristiwa mengenaskan yang menimpa gadis
cilik berusia delapan tahun, Angeline menjadi bukti kegagalan negara
dalam menjalankan amanat konstitusi, yakni melakukan perlindungan
terhadap warganya. Hulu persoalan kasus tersebut antara lain terletak
tidak dilaksanakannya aturan tentang pengangkatan anak sebagaimana
diatur dalam Pasal 39 UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Hal ini disampaikan anggota Komisi X, Reni Marlinawati, di Gedung DPR, Jumat (12/6).
Pasal 39 ayat (1) menyatakan, “Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi Anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan”.Sedangkan ayat (2), “Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara Anak yang diangkat dan Orang Tua kandungnya”.
Selain itu, Peraturan Pemerintah (PP) No.54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No.110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak mesti menjadi rujukan. Menurut Renny, penegakan aturan tersebut seakan diabaikan dalam proses pengangkatan atau adopsi terhadap Angeline oleh orang tua angkat, yakni Margaret bersama dengan suami –kini telah almarhum-.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menduga pengangkatan anak atas nama Angeline tanpa prosedur yang benar sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundangan. Oleh sebab itu, aparat penegak hukum harus melakukan audit secara menyeluruh proses pengangkatan anak atas nama Angeline.
“Aparat penegak hukum jangan segan-segan menindak kepada siapapun yang diduga melakukan pelanggaran terhadap ketentuan terkait hal tersebut,” ujarnya.
Menurut Renni, pemerintah semestinya mengubah manajemen perlindungan anak dengan tidak lagi menggunakan manajemen ‘pemadam kebakaran’, yakni bergerak ketika ada peristiwa. Sebaliknya, upaya preventif semestinya lebih diutamakan. Beragam aspek dalam perlindungan terhadap anak banyak yang perlu dibenahi. Faktanya, kata Reni, praktik kekerasan terhadap anak terus berulang dilakukan oleh orang tidak bertanggungjawab.
“Seperti tontonan televisi yang jauh dari nilai edukasi dengan menampilkan kekerasan verbal maupun non verbal. Peristiwa ini semestinya menjadi momentum kita bersama untuk melakukan revolusi mental di aspek perlindungan anak,” katanya.
Ketua Komisi VIII Saleh Daulay mengatakan, UU Perlindungan Anak, PP No.54 Tahun 2007 serta Permensos No.110 Tahun 2009 adalah payung hukum dalam proses pengangkatan anak di Indonesia. Sepintas, peraturan dan perundangan tersebut sudah cukup baik. Namun faktanya, implementasi di tengah masyarakat berlum berjalan maksimal. Hal itu terbukti dengan banyaknya kasus pengadopsian anak yang tidak melalui prosedur.
"Kasus angeline, misalnya, menurut mensos tidak terdaftar di kemensos. Padahal, pengadopsian anak semestinya dicatatkan melalui kantor catatan sipil setelah mendapatkan izin pengadilan untuk mengadopsi. Semua proses tersebut semestinya diawasi secara langsung oleh kemensos, khususnya direktorat rehabilitasi sosial” ujarnya.
Saleh bependapat, semestinya orang tua angkat yang mengadopsi anak sudah mengerti dan memahami aturan sebelum melakukan pengangkatan anak. Malahan, dalam PP No.54 Tahun 2007 ada ketentuan kewajiban bimbingan kepada calon orang tua angkat, yakni mulai metode pengasuhan anak hingga aturan hukum yang berkenaan dengan pengangkatan anak.
“Jadi tidak ada alasan yang bisa diterima jika di kemudian hari anak mendapat kekerasan, ditelantarkan, dan disia-siakan” katanya.
Terkait kasus Angeline, Saleh menyerahkan sepenuhnya kepada proses penegakan hukum oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Ia berharap pengadilan akan memvonis hukuman maksimal agar menjadi cermin bagi para orang tua dan orang tua angkat lainnya.
“Polisi kan sudah mencoba mengurai kasus ini. Sudah ada yang mengaku. Namun, tetap harus diselidiki lebih dalam terkait keterlibatan pihak-pihak lain, termasuk orang tua dan keluarga angkat Angeline. Setidaknya, orang tua angkatnya telah lalai melakukan perlindungan terhadap Angeline,” ujar politisi PAN itu.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak, Muhammad Ihsan, berpandangan pemerintah mesti menyempurnakan regulasi pengasuhan anak. Tak saja regulasi pengasuhan dalam mendukung anak diasuh keluarga kandung, tapi juga pengasuhan alternatif, semisal panti asuhan, foster care, perwalian, maupun pengangkatan anak.
Proses perpindahan anak yang terjadi di masyarakat sebenarnya telah mengakomodir keutamaan keluarga terdekat yang berhak mengasuh Anak. Hanya saja perlu di revitalisasi menjadi lebih baik dengan regulasi, sehingga ada pengawasan dan sistem perlindungan anak. Meski telah ada PP No.54 Tahun 2007 dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perwalian dan Pengasuhan yang kini sedang digarap, namun Ihsan menilai belum ada kesepatan hal tersebut disahkan
“Untuk itu kami mendorong agar proses dapat diselesaikan dan disetujui menjadi antar Kementerian, syukur-syukur dapat ditingkatkan menjadi RUU. Rasanya sudah cukup kasus kekerasan Anak yang harus mendapatkan kekerasan didalam pengasuhan keluarga. Ditambah dengan aturan regulasi yang tidak ada menambah proses panjang kekerasan Anak yang mengalami pengasuhan yang buruk,” pungkasnya. (Hukum Online/ Marthen Yeimo/ SK)
Pasal 39 ayat (1) menyatakan, “Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi Anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan”.Sedangkan ayat (2), “Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara Anak yang diangkat dan Orang Tua kandungnya”.
Selain itu, Peraturan Pemerintah (PP) No.54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No.110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak mesti menjadi rujukan. Menurut Renny, penegakan aturan tersebut seakan diabaikan dalam proses pengangkatan atau adopsi terhadap Angeline oleh orang tua angkat, yakni Margaret bersama dengan suami –kini telah almarhum-.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menduga pengangkatan anak atas nama Angeline tanpa prosedur yang benar sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundangan. Oleh sebab itu, aparat penegak hukum harus melakukan audit secara menyeluruh proses pengangkatan anak atas nama Angeline.
“Aparat penegak hukum jangan segan-segan menindak kepada siapapun yang diduga melakukan pelanggaran terhadap ketentuan terkait hal tersebut,” ujarnya.
Menurut Renni, pemerintah semestinya mengubah manajemen perlindungan anak dengan tidak lagi menggunakan manajemen ‘pemadam kebakaran’, yakni bergerak ketika ada peristiwa. Sebaliknya, upaya preventif semestinya lebih diutamakan. Beragam aspek dalam perlindungan terhadap anak banyak yang perlu dibenahi. Faktanya, kata Reni, praktik kekerasan terhadap anak terus berulang dilakukan oleh orang tidak bertanggungjawab.
“Seperti tontonan televisi yang jauh dari nilai edukasi dengan menampilkan kekerasan verbal maupun non verbal. Peristiwa ini semestinya menjadi momentum kita bersama untuk melakukan revolusi mental di aspek perlindungan anak,” katanya.
Ketua Komisi VIII Saleh Daulay mengatakan, UU Perlindungan Anak, PP No.54 Tahun 2007 serta Permensos No.110 Tahun 2009 adalah payung hukum dalam proses pengangkatan anak di Indonesia. Sepintas, peraturan dan perundangan tersebut sudah cukup baik. Namun faktanya, implementasi di tengah masyarakat berlum berjalan maksimal. Hal itu terbukti dengan banyaknya kasus pengadopsian anak yang tidak melalui prosedur.
"Kasus angeline, misalnya, menurut mensos tidak terdaftar di kemensos. Padahal, pengadopsian anak semestinya dicatatkan melalui kantor catatan sipil setelah mendapatkan izin pengadilan untuk mengadopsi. Semua proses tersebut semestinya diawasi secara langsung oleh kemensos, khususnya direktorat rehabilitasi sosial” ujarnya.
Saleh bependapat, semestinya orang tua angkat yang mengadopsi anak sudah mengerti dan memahami aturan sebelum melakukan pengangkatan anak. Malahan, dalam PP No.54 Tahun 2007 ada ketentuan kewajiban bimbingan kepada calon orang tua angkat, yakni mulai metode pengasuhan anak hingga aturan hukum yang berkenaan dengan pengangkatan anak.
“Jadi tidak ada alasan yang bisa diterima jika di kemudian hari anak mendapat kekerasan, ditelantarkan, dan disia-siakan” katanya.
Terkait kasus Angeline, Saleh menyerahkan sepenuhnya kepada proses penegakan hukum oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Ia berharap pengadilan akan memvonis hukuman maksimal agar menjadi cermin bagi para orang tua dan orang tua angkat lainnya.
“Polisi kan sudah mencoba mengurai kasus ini. Sudah ada yang mengaku. Namun, tetap harus diselidiki lebih dalam terkait keterlibatan pihak-pihak lain, termasuk orang tua dan keluarga angkat Angeline. Setidaknya, orang tua angkatnya telah lalai melakukan perlindungan terhadap Angeline,” ujar politisi PAN itu.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak, Muhammad Ihsan, berpandangan pemerintah mesti menyempurnakan regulasi pengasuhan anak. Tak saja regulasi pengasuhan dalam mendukung anak diasuh keluarga kandung, tapi juga pengasuhan alternatif, semisal panti asuhan, foster care, perwalian, maupun pengangkatan anak.
Proses perpindahan anak yang terjadi di masyarakat sebenarnya telah mengakomodir keutamaan keluarga terdekat yang berhak mengasuh Anak. Hanya saja perlu di revitalisasi menjadi lebih baik dengan regulasi, sehingga ada pengawasan dan sistem perlindungan anak. Meski telah ada PP No.54 Tahun 2007 dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perwalian dan Pengasuhan yang kini sedang digarap, namun Ihsan menilai belum ada kesepatan hal tersebut disahkan
“Untuk itu kami mendorong agar proses dapat diselesaikan dan disetujui menjadi antar Kementerian, syukur-syukur dapat ditingkatkan menjadi RUU. Rasanya sudah cukup kasus kekerasan Anak yang harus mendapatkan kekerasan didalam pengasuhan keluarga. Ditambah dengan aturan regulasi yang tidak ada menambah proses panjang kekerasan Anak yang mengalami pengasuhan yang buruk,” pungkasnya. (Hukum Online/ Marthen Yeimo/ SK)
0 komentar:
Posting Komentar