|
Dari Kiri-kanan: Ahmad Fikri Assegaf, Yunus Husein, Bivitri
Susanti dan Erry Riyana Hardjapamekas saat memberikan keterangan pers di
acara Pembukaan Program Strata Satu Sekolah Tinggi Hukum Indonesia
Jentera. Jakarta, Selasa (7/7). Foto: RES
|
Jakarta, SUARA KAIDO -- Praktisi Hukum berkolaborasi untuk berlaga di pengadilan mungkin sudah
biasa, namun yang tidak biasa ialah ketika mereka berkolaborasi
mendirikan sebuah sekolah hukum. Dan produk yang dihasilkannya adalah
Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (Indonesia Jentera School of
Law).
Para praktisi hukum yang berkolaborasi itu adalah, di antaranya, Arief
T. Surowidjojo (Pendiri dan Partner Firma Hukum Lubis Gani Surowidjojo),
Ahmad Fikri Assegaf (Managing Partner Firma Hukum Assegaf Hamzah &
Partner), Chandra M. Hamzah (Partner Assegaf Hamzah & Partner), juga
Abdul Haris M. Rum (Partner Lubis Gani Surowijoyo). Visi utama sekolah
hukum ini adalah untuk menghasilkan para pemberharu hukum, Jentera Law
School akan mulai dibuka untuk Tahun Ajaran 2015/2016.
Arief Surowidjojo, Pembina Jentera, dalam Konferensi Pers Sekolah
Tinggi Hukum Indonesia Jentera pada Selasa (7/7) di Kampus Jentera,
Kuningan, Jakarta menjelaskan pendirian STH Indonesia Jentera merupakan
konsekuensi logis dari 17 tahun perjalanan Yayasan Studi Hukum dan
Kebijakan (YSHK) di dunia hukum. Dengan melihat kondisi penegakan hukum
di Indonesia, salah satunya ialah karena lemahnya pendidikan hukum di
Indonesia.
“Selama 17 tahun YSHK berdiri kami melihat begitu banyak carut marut di
bidang hukum, di penegakan hukum, pembangunan nasional, dan juga dalam
bidang legislasi. Menurut kami hal tersebut disebabkan lemahnya
pendidikan hukum kita. Problem utama ialah di pendidikan. Kami memulai
bagaimana melahirkan lulusan hukum yang berintegritas di pengetahuan
maupun di orang-orangnya,” jelas Arief saat memberikan sambutan.
Yunus Husein, Ketua STH Indonesia Jentera Law School, menjelaskan
perbedaan STH Indonesia Jentera dengan sekolah tinggi hukum lainnya.
Menurutnya, STH Indonesia Jentera memiliki resource yang cukup
banyak, dan pendiran yang serius. “Jentera Law School merupakan Sekolah
hukum pembaharu. Kita kembali, back to basic, ke metode dasar
penelitian, ke ilmu dasar lain. Sehingga menghasilkan SH (Sarjana Hukum)
yang dapat menghasilkan kontribusi kepada lingkungan dan masyarakat.
Share value, kita harapkan bisa berkolabirasi bukan hanya kalangan
hukum, tapi juga diluar kalangan hukum, seperti poltisi, dan media.
Ada sikap dan nilai, kritis, terbuka, dan mencoba untuk memperbaiki hukum,” ujarnya.
Metode pembelajaran yang dilakukan, menurut Yunus, ialah Student
Learning Center, mahasiswa mengembangkan diri. “Kita menghasilkan
pembaharu hukum, bukan hanya yang bisa berdagang hukum, dia juga
memiliki etika dan moral. Yang menguasai ilmu etika, moral, dan bisa
mengembangkan diri sendiri sampai akhir hayat. Student learing center,”
tambah mantan Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan
(PPATK) ini.
Bivitri Susanti, Wakil Ketua Jentera Law School, menambahkan yang
membedakan Jentera dengan sekolah hukum yang lainnya ialah selain metode
belajar, yaitu Jentera lahir di lingkungan para pembaharu hukum. “Kami
tidak ingin mereproduksi hal yang itu lagi-lagi. Kami mendorong inovasi
di kelas, hubungan dosen dengan mahasiwa bukan hubungannya belajar
mengajar tetapi mencipta. Menelaah putusan, banyak baca jurnal-jurnal
hukum. Jentera juga berada di komunitas pembaharu hukum. Mahasiwa
memiliki lingkungan yang punya cara berpikir yang berbeda. Sehingga
menghasilkan pembaharu hukum,” jelas Bivitri.
“Metode magang juga merupakan metode yang digunakan di Jentera Law
School. Magang ini kami punya beberapa kerjasama formal dengan banyak
institusi, beberapa lawfirm, di PSHK, LBH Jakarta, dan banyak tempat
lainnya. Sehingga kami fokuskan ke magang. Magang 6 SKS supaya orang
yang keluar tahu prakteknya seperti apa,” tambahnya.
Selain keempat praktisi hukum diatas, Jentera Law School juga didirikan
oleh Erry RIyana Hardjapamekas (Komisioner KPK periode 20013- 2007),
Marsillam Simanjuntak (Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung tahun 2001).
Juga akademisi hukum diantaranya Erman Radjagukguk (Guru Besar FHUI),
Hamid Chalid (Dosen FHUI), dan Mardjono Reksodiputro (Guru Besar FHUI). (Marthen Yeimo/ Hukum Online/SK)